Kamis, 23 Juni 2011

HUKUM TENAGA KERJA

PENDAHULUAN
Membahas mengenai tenaga kerja tidak ubahnya kita membahas sebuah persoaloan kompleks yang tidak bisa dicari titik ujungnya lebih-lebih d Indonesia. peraturan demi peraturan, kebijakan demi kebijakan yang dibuat tidak jua menemukan solusi permasalahan ketenagakerjaan, mulai dari permasalahan TKI, upah, jaminan perlindungan pekerja, dan lain sebagainya.

Menilik sejarah kaum pekerja yang dahulu akrab disebut kaum buruh menyiratkan dalam benak kita bahwa segala persoalan yang terjadi saat ini tidak luput dari persoalan yanng berkembang di masa lalu. Dahulu kaum buruh diperlakukan layaknya budak, mereka dipekerjakan tanpa diberi upah dan juga menerima kekerasan dalam bekerja, sehingga pada era Karl Marx membagi kehidupan sosial menjadi dua bagian penting, yaitu kaum Proletar dan Borjuis.
Dari sedikit gambaran di atas kami akan mempresentasikan bagaimana sejarah buruh di Indonesia, perkembangan juga aspek-aspek hukum yang melingkupinya, dengan tujuan pada nantinya kita bisa memahami aspek hukum ketenagakerjaan yang sebenarnya.











PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Tenaga Kerja
Menurut undang-undang ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang disebut tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri Maupun untuk masyarakat. Sedangkan pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sedangkan hukum tenaga kerja adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Pada prinsipnya hukum kerja adalah serangkain peraturan yang mengatur segala kejadian yang berkaitan dengan bekerjanya seseorang pada orang lain dengan menerima upah.
Pada era tahun 2000-an ada lima peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sumber hukum kerja, yaitu sebagai berikut:
a.       UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 No. 131, Tambahan Lembaran Negara No. 3889)
b.      UU NO. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 No. 39, Tambahan Lembaran Negara No. 4279)
c.       UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesain Hubungan Industrial
d.      UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
e.       UU No. 3 Tanun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Selain peraturan-peraturan di atas adasumber hukum tertulis lain yang merupakan ciri khas dari hukum kerja. Dikatakan demikian karena sumber hukum ini datanngya dari pihak yang terikat dalam huku kerja, yaitu sebagai berikut:
a.       Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis pengusaha yang muuat syarat-syarat dan tata tertib perusahaan
b.      Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh degan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak
c.       Perjanjian kerjasama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau beberapa serikar pekerja yang tercatat pada instansi yang beranggung jawab di b8dang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Bekerjanya seseorang kepada orag lain maksudnya dalah seorang bekerja dengan bergantung pada orang lain, yang memberi perintah dan menguasainya sehingga orang tersebut harus tunduk pada oarang lain yang memberikannya pekerjaan tersebut. Dengan demikian dalam hukum kerja tidak tercakup seseorang yang bekerja untuk kepentingan sendiri dengan resiko dan tanggung jawab sendiri.
B.     Sejarah Hukum Ketenagakerjaan
Secara historis, hukum ketenagakerjaan berawal dari revolusi industri yang terjadi di Eropa khususnya Inggris, dimana pada abad ke 19 telah ditemukan sebuah mesin uap yang dapat memudahkan dalam melakukan suatu pekerjaan dalam  proses produksi. Revolusi industri ini telah mengubah menjadi zaman mekanisasi yang sebelumnya tidak dikenal. Ciri utama mekanisasi ini adalah: hilangnya industri kecil, jumlah buruh yang bekerja di pabrik meningkat, anak-anak dan perempuan ikut diterjunkan ke pabrik dalam jumlah massal, kondisi kerja yang berbahaya dan tidak sehat, jam kerja panjang, upah yang sangat rendah, dan perumahan yang sangat buruk, yang sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan diri mereka. Undang-undang perburuhan pertama muncul di Inggris tahun 1802, kemudian menyusul di Jerman dan Perancis tahun 1840, sedangkan di Belanda sesudah tahun 1870. Substansi undang-undang pertama ini adalah jaminan perlindungan terhadap kesehatan kerja (health) dan keselamatan kerja (safety). Undang-undang perlindungan inilah yang menandai berawalnya hukum perburuhan.
Pada saat yang sama, serikat-serikat buruh belum berkembang. Di sisi lain pengusaha juga masih bersikap anti serikat, tambah lagi, sistem hukum yang ada belum memungkin lahirnya serikat buruh. Sebagai contoh, hingga tahun 1825 di Inggris masih berlaku Undang-Undang Penggabungan (Combination Acts) yang menganggap ilegal semua aksi kolektif (collective action) untuk tujuan apapun. Di Belanda, larangan untuk berorganisasi/berserikat (coalitie verbod) baru dihapus pada tahun 1872. Sejak penghapusan inilah buruh dapat melakukan konsolidasi dalam serikat-serikat buruh. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa hukum perburuhan yang melindungi buruh adalah hasil desakan para pembaharu di dalam maupun di luar parlemen.
Sedangkan sejarah hukum ketenagakerjaan  di Indonesia sebelum masa kemerdekaan sangat memprihatinkan, beberapa jenis hubungan kerja sangat tidak manusiawi, seperti adanya rodi (kerja paksa), perbudakan, dan poenale sanksi yang hampir terjadi secara bersamaan.
Rodi (kerja paksa) mula-mula merupakan kegiatan dotong royong oleh semua penduduk suatu desa atau anggota suku tertentu untuk kepentingan desa atau suku tersebut. Kemudian hal ini dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi suatu kerja paksa untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda beserta pembesar-pembesarnya.
Perbudakan adalah suatu jenis hubungan kerja dimana orang yang melakukan pekerjaan disebut budak, tidak mempunyai hak apapun. Para budak hanya mempunyai kewajiban untuk melakukan segala pekerjaan dan melakukan segala perintah tanpa sekalipun boleh menentang. Sementara itu majikan adalah pihak yang berkuasa penuh, buian saja terhadap perekonomian budak, tetapi terhadap hidup dan mati para budak pun majikan berhak mengaturnya.
Poenale sanksi pada hakikatnya sangat menekan para tenaga kerja karena adanya ketentuan sebagai berikut:
a.       Buruh hanya boleh meninggalkan tempat bekerja jika ada izin tertlis dari pengusaha, administratur, atau pegawai yang berwenang, apabila ada yang meninggalkan tanpa izin atau melarikan diri, maka akan dikenakan sanksi.
b.      Tenaga kerja yang tidak melakukan kewajibannya secara teratur akan dikenakan sanksi.
c.        Bagi buruh yang mendapatkan izin, harus dilengkapi dengan identitas perizinan.
d.      Buruh yang tersangkut kasus pidana dan hukuman penjara, setelah bebas akan dikembalikan ke tempat kerja, masa tenaga kerja tersebut tidak diperhitungkan sebagai masa kerja selama dipenjara.
e.       Tenaga kerja dengan alasan apapun tidak dibenarkan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
f.       Masyarakat umum tidak diperkenankan memberikan pemondokan kepada tenaga kerja yang meninggalkan tempat kerja tanpa izin dan tidak membawa tanda pengenal.
Sedangkan pada awal kemerdekaan, keadaan hukum kerja tidaklah begitu berarti atau kurang diperhatikan meskipun dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas diatur masalah ketenagakerjaan, khususnya dalam Pasal 27 ayat (2): tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hal ini terjadi karena perhatian pemerintah lebih condong untuk mempertahankan negara yang ingin direbut kembali oleh Belanda. Dengan demikian, tidak ada sama sekali pereturan perundangan yang dikeluarkan pada awal kemerdekaan tersebut. Baru kemudian setelah Indonesia berhasil mempertahankan kedaulatannya pada tahun 1948, pemerintah mulai memperhatikan masalah ketenagakerjaan dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundangan.

C.    Hubungan Kerja
Menurut Undang-Undang ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 Pasal 50 disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian antara penguaha dan pekerja/buruh. Sedangkan pada pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003  menyatakan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Perjanjian kerja yang dibuat oleh penusaha dengan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama yang dibuat ole pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh yang ada pada perusahaan. Demikian pula perjanjian kerja tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pengusaha.
Hubungan merupakan interaksi antara pengusa degan pekerja,sehingga dalam interaksi tersebut menimbulkan kewajiban di antara ke dua belah pihak, berikut ini akan dijelaskan kewajiban-kewajiban diantara mereka:
Ø  kewajiban Pengusaha
Kewajiban utama dari pengusaha dalam perjanjian kerja adalah membayar upah kerja masalah upah di atas di atur pada bagian kedua Bab X UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Kewajiban pokok pengusaha selain membayar upah adalah juga mengatur tempat kerja dan alat kerja, memberi hari istirahat atau libur resmi, memberi surat keterangan serta bertindak sebagai pengusaha yang baik .

1.  Membayar Upah
a.       Pengertian upah
Menurt pasal 1 angka 30  UU Ketenagakerjaan tahun 2003, upah adalah hak pekerja atau buruh yang di terima dan di nyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang di tetapkan dan di bayarkan menurut suatu kesepakatan atau Peraturan Perundang-undangan.
b.      Upah Minimum
Upah minimum di atur dalam peraturan menteri tenaga kerja Nomor: PER/01/MEN/1999 tentang Upah Minimum.
Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap
Upah minimum terdiri atas:
ü  Upah Minimum Provinsi
ü  Upah Minimum Kabupaten/Kota
ü  Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMS Provinsi)
ü  Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMS Kabupaten/Kota)
Mengenai besarnya upah minimum sebagai berikut:
·         Penetapan upah minimum Kabupaten/Kota lebih besar dari  Upah Minimum Provinsi  yang di tetapkan oleh Gubernur
·         Gubernur dapat menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi atau Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota atas kesepakatan organisasi peusahaan dengan serikat pekerja atau serikat buruh.
Mengenai penjelasan upah minimum sebagai berikut :
·         Bagi pekerja atau buruh yang berstatus tidak tetap/percobaan , upah di berikan oleh pengusaha serendah-rendahnya sebesar upah minimum
·         Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja atau buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari satu tahun.
·         Peninjauan besarnya upah pekerja dengan, masa kerja lebih dari satu tahun di lakukan atas dasar kesepakatan antar pekerja dengan pengusaha
·         Bagi pekerja dengan sistem kerja borongan upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar upah minimum perusahaan.
·         Upah pekerja harian lepas di tetapkan secara upah bulanan yang di bayarkan berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah sehari :
ü  Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 hari dalam semninggu, upah bulanan di bagi 25 (dua puluh lima)
ü  Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 hari dalam semninggu, upah bulanan di bagi 21 (dua puluh satu)
Mengenai pelaksanan upah minimum bagi perusahaan di tetapkan sebagai berikut:
a.       Bagi perusahaan yang mencakup lebih dari satu sektor, maka upah yang di berikan sesuai dengan UMS Provinsi / UMS Kabupaten / Kota.
b.      Dalam hal satu perusahaan mencakup beberapa sektor atau subsektor belum ada  penetapan UMS Provinsi / UMS Kabupaten / Kota, maka untuk sektor tersebut di berlakukan UMS Provinsi / UMS Kabupaten / Kota yang tertinggi diperusahaan.
c.       Dalam hal perusahaan memerlukan pekerjaan jasa penunjang yang belum terdapat penetapan UMS Provinsi / UMS Kabupaten / Kota, maka bagi pekerja jasa penunjang di berlakukan UMS Provinsi / UMS Kabupaten / Kota tertinggi di perusahaan.

c.        Unsur-unsur yang mempengaruhi pembayaran upah
Setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan , yaitu jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja / buruh dari hasil pekerjaannya sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar. Mengenai upah yang tidak di bayar, dalam pasal 93 UU ketenagakerjaan 2003 ada ketentuan sebagai berikut,yaitu “ upah tidak di bayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan “. Ketentuan ini meruapkan asas yang sering di sebut dengan asas no work no pay. Namun asas ini tidak berlaku mutlak, pengusaha tetap wajib membayar upah apabila terjadi hal sebagi berikut :
a.       Pekerja buruh sakit,sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya.
b.      Pekerja/buruh perempuan haid pada hari pertama atau ke dua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
c.       Pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, menghitankan, membaptiskan anak, istri melahirkan, anggota keluarga dalam satu rumah meningagal dunia.
d.      Pekerja buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara
e.       Pekerja buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agama yang telah di atur dalam peraturan perundang-undangan
f.       Pekerja/ buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pekerja tidak memperkerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha
g.      Pekerja/ buruh mnelaksanakan  hak istirahat.
h.      Pekerja/ buruh malaksanakan tugas serikat pekerja atau serikat buruh atas persetujuan pngusaha
i.        Pekerja/ buruh melaksanaakan tugas pendidikan dari pengusaha.

d.      Kedudukan upah
Upah mempunyai kedudukan istimewa, hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan 2003 yang berbunyi : “dalam hal perusahaan dinyatakan pailit  atau dilikuiditas berdasarkan perundang-undngan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/ buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
e.       Upah lembur
Waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor KEP-102/MEN/V1/2004 tanggal 25 Juni 2004. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja melebihi  7 jam perhari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja seminggu atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
Untuk golongan jabatan tertentu tidak berhak atas upah kerja lembur dengan ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi yang termasuk golongan jabatan tertentu:
Mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana, pengendali jalannya usaha.
Persyaratan untuk mengadakan kerja lembur :
a.       Harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh.
b.      Pengusaha harus membuat daftar  pelaksanaan kerja lembur.
c.       Pengusaha selama waktu kerja lembur mempunyai kewajiban:
·         Membayar upah kerja lembur
·         Memberi k esempatan untuk istirahat secukupnya
·         Memberikan makanna dan minuman sekurang-kurangnya 1400 kalori apabila kerja lembur di lakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih. Pemberian makanan dan minuman tidak boleh diganti dengan uang.

2. Memberi waktu istirahat  dan hari libur resmi
Mengenai hal ini di atur dalam paragraph 4 bagian ke satu bab X UU ketenagakerjaan 2003. Disitu diatur tentang waktu istirahat dan cuti serta hari libur resmi sebagai berikut ;
·         Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.
·         Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja seminggu, atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu.
·         Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara trus-menerus.
·         Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ke tujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara treus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tresebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam ) tahun.
·         Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepda pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan agamanya.
·         Pekerja /buruh perempuan yang dalam masa haid merasa sakit dan memberitahukan kepeda pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
·         Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1 ½ (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1 ½ (satu setengah) bulan sesudah melahirkan mneurut perhitungan dokter kandungan / bidan.
·         Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1 ½ (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan/bidan.
·         Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus di beri kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus di lakukan selama waktu kerja.
3. Mengatur Tempat Kerja dan Alat Kerja
Dalam pasal 86 Undang-undang ketenagakerjaan 2003 disebutkan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hakuntuk memperoleh perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Selanjutnya mengenai alat-alat kerja diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Dalam Undang-Undang tersebut para pekerja/buruh dilindungi dari bahaya dipakainya alat-alat kerja maupun bahan-bahan yang dipakai perusahaan.
Kewajiban mengatur tempat kerja dan alat kerja ini diadakan agar kecelakaan kerja dapat dihindari.
4. Bertindak Sebagai Pengusaha Yang Baik
Meskipun kewajiban ini tidak tertulis dalam perjanjiankerja, namun menurut kebiasaan serta peraturan perundang-undangan, seharusnya pengusaha wajib untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Hal diatas sesuai dengan ketentuan tentang akibat dari perjanjian yang diatur dalam pasal 1339 KUH Perdata yang berbunyi: perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
5. Memberi Surat Keterangan
Didalam praktik biasanya pengusaha member surat keterangan tentang pekerjaan pekerja/buruh sewwaktu hubungan kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha telah berakhir. Surat keterangan atau pengalaman kerja biasanya mengenai : macam pekerjaan, cara melakukan pekerjaan, lama melakukan pekerjaan, dan cara berakhirnya hubungan kerja.
Ø  Kewajiban Pekerja/Buruh
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsure pekerjaan, upah,, dan perintah. Dengan demikian, kewajiban utama dari pekerja buruh adalah melakukan pekerjaan.

1.      Melakukan Pekerjaan
Kewajiban untuk melakukan pekerjaan karena adanya perjanjian kerja. Perlu diketahui bahwa pejanjian kerja menurut pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja adlah pekerjaan yang dijanjikan dalam perjanjian kerja. Mengenai ruang lingkup pekerjaan dapat diketahui dalam perjanjian kerja atau menurut kebiasaan.
Pekerjaan harus dikerjakan sendiri karena melakukan pekerjaan itu bersifat kepribadian artinya kerja itu melekat pada diri pribadi, sehingga pabila pekerja meninggal dunia, hubungan kerja berakhir demi hokum. Oleh karena itu, pekerjaan tidak boleh diwakilkan atau diwariskan.
2.      Mentaati tata Tertib Perusahaan
Peraturan tata tertib ini diterapkan oleh pengusaha sebagai akibat kepemimpinan dari pengusaha. Mengenai hal ini dpat disimpulkan dalam apa yang dinamakan perjanjian kerja. Menurut pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, peraturan peruasahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
3.      Bertindak Sebagai Pekerja/Buruh Yang Baik
Kewajiban ini merupakan kewajiban timbale balik dari pengusaha yang wajib bertindak sebbagai pengusaha yang baik. Dengan demikian, pekerja wajib melaksanakan kewajibannya dengan baik seperti apa yang tercantum dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, maupun dalam perjanjian kerja bersama. Disampin itu, pekerja wajib melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan menurut peraturan perundang-undangan, kepatutan maupun kebiasaan.
D.    Perlindungan Kerja
1.      Pekerja Anak
UU No. 13 Tahun 2003 pasal 68 melarang keras pengusaha mempekerjakan anak. Anak dianggap bekerja apabila berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Tetapi pada kenyataannya masih banyak anak-anak yang bekerja membanting tulang demi meringankan beban ekonomi keluarga, dan terpaksa meninggalkan bangku sekolah. UU No. 13 Tahun 2003 lebih lanjut mengatur tentang pekerjaan anak sebagai berikut:
a.       Bagi anak berumur 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan dimaksud harus memenuhi persyaratan:
·         Izin tertulis dari orang tua wali
·         Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali
·         Waktu kerja maksimum 3 jam
·         Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah
·         Keselamatan dan kesehatan kerja
·         Adanya hubungan kerja yang jelas
·         Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku. (pasal 69 ayat (2) UU. No. 13 Tahun 2003).
b.      Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan syarat:
·         Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan
·         Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
c.       Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Pengusaha yang mempekerjakan anak dalam pekerjaan yang berkaitan dengan minat dan bakat ini, diwajibkan untuk memenuhi persyaratan:
·         Dibawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali
·         Waktu kerja paling lama 3 jam
·         Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
Larangan mempekerjakan anak, UU No. 13 Tahun 2003 lebih menekankan lagi, “siapa pun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk” (pasal 74 ayat 1).  Dan juga dalam pasal 75 bahwa: “Pemeritah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau anak penjual koran dan sebagainya
2.      Pekerja Perempuan
UU. No. 13 Tahun 2003  menentukan norma kerja perempuan sebagai berikut:
a.       Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari delapan belas tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00.
b.      Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00
c.       Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 wajib:
ü  Memberikan makanan dan minuman bergizi
ü  Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
d.      Pengusaha wajib menyediakan angkutan antarjemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00.

3.      Waktu kerja, mengaso, dan istirahat (cuti)
Waktu kerja adalah waktu efektif di mana pekerja/buruh di mana pekerja/buruh hanya melaksanakan pekerjaannya. Waktu mengaso adalah waktu antara, yaitu waktu istirahat bagi pekerja/buruh setelah melakukan pekerjaan empat jam berturut-turut yang tidak termasuk waktu kerja. Waktu istirahat adalah waktu cuti, yaitu waktu di mana pekerja/buruh diperbolehkan untuk tidak masuk bekerja karena alasan-alasan tertentu yang diperbolehkan oleh undang-undang.
Waktu kerja menurut ketentuan pasal 77 UU No. 13 Tahun 2003 adalah:
·         7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) seminggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
·         8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Waktu istirahat/ cuti bagi pekerja/buruh ada 4 macam yaitu istirahat/cuti mingguan, istirahat/cuti tahunan, istirahat/cuti panjang, serta istirahat/cuti hamil/bersalin dan haid bagi pekerja/buruh permpuan.
Disamping ketentuan-ketentuan cuti tersebut diatas, UU No. 13 Tahun 2003 dalam Pasal 85 menentukan beberapa hal berikut:
ü  Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari libur resmi.
ü  Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
ü  Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi wajib membayar upah kerja lembur.
ü  Ketentuan mengenai jeis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Mentri.
Untuk menjaga keselamatn dan perlindungan tenaga kerja, perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan mengharuskan penguaha memperhatikan rambu-rambu hukum sebagai berikut:
·          Dilarang memperkerjakan anak, kecuali karena alasan-alasan tertentu terpaksa dilakukan. Anak adalah orang yang masih berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.
·         Bagi anak yang dipekerjakan karena terpaksa disebabkan alasan-alasan tertentu tersebut wajib diberikan perlindungan khusus.
·         Dilarang memperkerjakan orang muda untuk pekerjaan-pekerjaan dengan situasi tertentu. Orang muda adalah orang (laki-laki atau perempuan) berumur antara 15 (lima belas) sampai dengan 18 (delapan belas)
·         Dilarang memperkerjakan orang perempuan untuk pekerjaan-pekerjaan dengan situasi tertentu atau pada waktu tertentu seperti malam hari kecuali dengan izin khusus.
·         Pengusaha wajib mengikuti ketentuan tentang jam kerja dan lembur.
·         Pekerja berhak mendapat waktu istirahat kerja, cuti tahunan dan cuti hamil.
·         Pekerja wanita tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid.
·         Dilarang mempekerjakan orang pada hari libur resmi, kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang memerlukan pekerjaan terus-menerus.
E.     Pemutusan Hubugan Kerja
Aspek hukum setelah hubungan kerja maksudnya adalah aspek hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja termasuk pada saat pemutusan hubungan kerja dan hak-haknya akibat terjadinya PHK tersebut. Aspek hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut adalah :
1.         Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
a.          Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi perusahaan swasta diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1964. PHK adalah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja yang terjadi karena berbagai sebab. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan memberikan pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dengan pengusaha (Pasal 1 angka 25). Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang PHK tidak termasuk undang-undang yang dicabut oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Saat ini sedang dibahas RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang akan menggantikan Undang-Undang No. 12 Tahun 19964 tersebut.
Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 disebutkan setiap PHK yang terjadi harus mendapatkan izin dari P4D untuk PHK perorangan dan P4P untuk PHK massal. Sedangkan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 mensyaratkan PHK setelah adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan. Lembaga ini sebagai pengganti dari P4D/P4P.
b.         Ketentuan PHK
Jika pengusaha akan melakukan PHK, maka terlebih dahulu harus merundingkannya dengan serikat buruh/pekerja atau dengan buruh/pekerja yang bersangkutan jika tidak menjadi anggota serikat buruh/pekerja. Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja(PHK) dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian peselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat 3). Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dari lembaga yang berwenang batal demi hokum, kecuali alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 154.
c.           Jenis-Jenis PHK
Dalam literature Hukum Perburuahn/Ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis PHK yaitu:
d.         Pemutusan hubungan kerja oleh majikan/pengusaha
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagaimna dimaksud dalam Pasal 158 ayat(1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Kesalahan berat yang dimaksud harus didukung dengan bukti-bukti.
Jika pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai diatur dalam Pasal 160 ayat (1).
Selain itu pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap buruh/pekerja dalam hal:
b.    terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaandan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja
c.    perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2(dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur)
d.    perusahaan melakukan efisiensi.
e.    pekerja/buruh memasuki usia pensiun
f.     Pekerja yang mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis karena hal tersebut dapat dikualifikasikan mengundurkan diri.
e.          Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam pasal 169 ayat (1).
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud di atas harus memenuhi syarat:
g.    Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulaimengundurkan diri;
h.    Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
i.      Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai menguindurkan diri.
f.          Hubungan kerja putus demi hukum
Artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya dan kepada buruh/pekerja, pengusha tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 154 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
g.         Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Alasan penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan keadaan dimana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengadilan atas permintaan pihak majikan tidak memerlukan izin dari P4D atau P4P.
2.         Hak-Hak Tenaga Kerja yang di PHK
Bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156). Sedangkan perhitungan uang pesangon diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima yang tertunda terdiri dari:
a.          Upah pokok;
b.         Segala macam benruk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.






PENUTUP
Di belahan dunia manapun, hukum diciptakan demi tegaknya keadilan yang tentunya objektif, netral dan berimbang. Demikian halnya dengan dimunculkannya hukum ketenagakerjaan yang diharapkan akan dapat melindungi pelaku kerja, baik pemilik kerja ataupun pekerja. Pertanyaan yang mendasar ialah apakah aspek-aspek hukum tersebut benar-benar telah diimpementasikan dengan baik? Kami rasa belum sepenuhnya, low in book law in action more different. Mengapa demikian, sekarang kita cermati di sekeliling kita seberapa persen kah pekerja yang menerima hak dalam bekerjanya sesuai dengan undang-undang, jawabannya ada pada benak kita masing-masing. Namun tidak selayaknya kita putus asa dan berhenti untuk menjadikan sesuatu masuk ke dalam trap hukum.
Bukan kami menjustice kelompok tertentu, hanya saja perlu kita pahami bahwa kadang kala sesuatu terjadi di luar alur hukum, seperti halnya perihal ketenagakerjan yang kian hari kian membuat kita miris.
Di atas kita mempelajari sejarah hukum ketenagakerjaan, diharapkan agar sejarah yang telah terukir di masa lampau mampu menjadi tolak ukur hukum di masa sekarang, kita mempelajari perlindungan kerja, diharapkan dalam menjalankan pekerjaan masing-masing tidak merasa ada yang tersakiti dan menyakiti, kita mempelajari tugas-tugas pelaku kerja, diharapkan pelaku kerja dapat memahami mana kewajiban dan mana hak masing-masing.






DAFTAR PUSTAKA
1.      Asyhadi, Zaeni. 2007. Hukum Kerja. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
2.      F.X. Djumialdi. 2006. Perjanjian Kerja. Jakarta. Sinar Grafika.
3.      Husni, Lalu. 2009. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
4.      Undang-Undang Ketenagakerjaan. 2009. Sinar Grafika.
5.      http://soef47.wordpress.com/2009/10/14/kupas-sekilas-hukum-tenaga-kerja/ diakses pada  hari Kamis, 05-05-2001 pukul 12.13.














HUKUM KETENAGAKERJAAN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis
Dosen Pengampu : Bpk. Budi Ruhiatuddin



Disusun Oleh:
Sri Wahyuningsih                    : 09390077
Tri Hartutik                             : 09390080
Cahya Lestari                          : 09390081
Eko Pambudi                          : 09390082
Latifa Hilda Rosidha              : 09390085
Abdul Koid Zaelani                : 09390086
Hidayat Suryo Sejati               : 09390092
Mufid                                      : 09390093

Jurusan Keuangan Islam
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar